Monday 11 October 2010

Kacamata

Namanya K. Sebuah nama yang sangat singkat. Sebenarnya Merlin setengah ragu ia benar-benar jujur. Namun tak akan terlalu berbeda jika pun pria muda itu mengucapkan sebuah kebohongan. Merlin hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan apa yang dimulainya.

"Mana kacamatamu?"

Pertanyaan itu terlontar setelah Merlin menyambut perkenalan yang disodorkan K. Pria muda itu terdiam dengan raut wajah kebingungan. Sebuah momen aneh pun terjadi lagi. K menyatakan ia tidak pernah memakai kacamata. Sementara Merlin mengatakan ia yakin pria yang ia temui dalam mimpinya memakai sebuah kacamata berbingkai hitam.

"Mimpi?" tanya K yang secara tiba-tiba memotong kalimat Merlin.

Entah mengapa pertanyaan K membuat Merlin terpancing menceritakan tentang dirinya dan keanehannya. Ia tidak pernah merasa nyaman membuka hal-hal tersebut sebelumnya karena kebanyakan hanya orang akan memberinya pandangan aneh. Namun K menyimak semua yang terucap dengan seksama. Bahkan ia mengejutkannya dengan sebuah pernyataan di akhir cerita Merlin tentang mimpi terakhirnya.

"Kurasa ia mungkin sedang mendengarkan kita"

"Siapa?"

"Dia, orang yang ingin kamu selamatkan"

(Chaos)

Wednesday 22 September 2010

Introduction

"Tunggu!" Gadis tersebut menghentikan langkahnya, dan menolehkan pandangannya ke arah suara yang memanggilnya. Oh sial, apa yang baru saja kulakukan? Kenapa aku memanggilnya? Ok, mungkin aku bisa mengajaknya bicara sebentar, tidak lucu kalau aku memanggilnya tapi tidak tahu mau melakukan apa.

“Kemarilah, kita bicara sebentar.” K mengatakannya dengan datar, sehingga sulit diketahui apakah itu permintaan atau perintah. Gadis tersebut terlihat bingung, dia menoleh ke sana ke mari, sebelum akhirnya mendekati K. “Duduklah” ucap K, masih datar seperti sebelumnya sambil menunjuk ke kursi kosong disampingnya. Gadis tersebut biarpun masih terlihat ragu, mengangguk dan duduk di samping K.

Hening, tidak ada yang memulai pembicaraan, dan mereka tidak menatap lawan bicara mereka. K menatap keluar jendela, dahinya berkerut karena dia bingung apa yang harus dibicarakan dengan gadis ini.

Apa yang baru saja kulakukan!?! Kenapa aku memanggilnya!?! Dan sekarang, apa yang harus kubicarakan!?! Ah, kalau begini terus aku bisa disangka orang iseng! Tunggu, bukankah gadis tersebut yang memanggil aku duluan? Mungkin justru dia yang ingin menggoda aku? Ah tidak, dari wajahnya, gadis itu bukan gadis tipe seperti itu, mungkin hanya kasus salah mengenali orang, ya pasti…

Jika benar hanya salah mengenali orang, kenapa pula aku memanggilnya? Karena tadi dia berbalik pergi tanpa aku sempat mengatakan apa-apa, aku jadi refleks memanggilnya! Ah, sial! Apa yang harus kukatakan kepadanya? Hei, aku hanya iseng memanggilmu, sekarang pergilah dari sini, OK? Tidak, tidak, kalau aku mengatakannya, dia pasti marah besar.

K mengalihkan pandangannya ke gadis yang duduk dengan gelisah di sampingnya. Gadis ini terkugat masih muda, mungkin usianya masih belasan tahun. Kalau dipikir, K belum tahu nama gadis tersebut. Mungkin dia bisa menanyakan namanya untuk memantik pembicaraan?

“Hei, siapa namamu?”
Gadis tersebut menatap K

“Ya, setidaknya pertanyaanku menjawab pertanyaanmu, aku tidak mengenalmu, setidaknya yang aku ingat…” K mengambil jeda sebelum melanjutkan ucapannya “Setidaknya kamu bisa beritahu aku mengapa kamu bisa salah orang, tapi akan sulit berkomunikasi jika tidak tahu nama masing-masing bukan?”

Gadis tersebut masih terdiam, pandangan matanya bertemu dengan mata K, berusaha mencari tahu apakah orang ini bisa dipercaya.

“Maaf, dimana sopan santunku? Sebelum menanyakan nama orang, seharusnya aku mengenalkan diriku sendiri.” K buru-buru mengucapkannya karena menyadari ketidaksopanan yang baru saja dilakukannya “Namaku K…” Melihat tatapan curiga dari gadis yang duduk disampinya, K buru-buru menambahkan “dan ya aku tahu, mungkin sulit dipercaya, tapi itu namaku apa adanya, tidak perlu menatap curiga seperti itu kepadaku. AKu sudah mengenalkan diriku sekarang giliranmu” Ucap K sambil tangannya mempersilahkan si gadis untuk mengenalkan dirinya.

Strife

Friday 13 August 2010

Hit Or Miss

Ia disana, pemuda yang Merlin cari sedang duduk di dekat jendela, memandangi hujan yang masih belum rela menyudahi aksinya. Setelah mencari sepanjang 3 gerbong akhirnya Merlin berhasil menemukan tokoh dari mimpi bodohnya. Namun tidak seperti di mimpinya, pemuda ini nampak baik-baik saja. Tak ada noda darah maupun luka terbuka yang patut dikhawatirkan. Sejauh pengamatan Merlin, pemuda itu masih hidup. Satu-satunya yang nampak mencuri kesadaran pemuda itu adalah sebuah kantuk yang menggelayut berat di bawah kelopak matanya. Merlin memutuskan untuk bergerak cepat sebelum pemuda itu benar-benar tertidur.
"Hey, maaf, ini akan terdengar aneh. Anda kenal saya?"
Pemuda itu mendongak dan melihat Merlin dengan raut bingung. Semangat Merlin dengan cepat menguap. Suara kecil di kepalanya mengatakan langkah yang ia ambil sudah cukup bodoh, dan bahkan sekarang ia terlihat lebih bodoh dengan bertanya apa orang yang ia temui dalam mimpi mengenalnya di dunia nyata.
"Ah, sudahlah, mungkin salah orang. Maaf" ucap Merlin sambil berbalik pergi.

(chaos)

Sunday 8 August 2010

Train Blues

Tetes hujan perlahan membasahi jendela kereta yang bergerak kencang. Kereta terus bergerak dengan kencang dan konstan, menuju tujuannya, dikendalikan oleh seorang masinis yang handal yang sudah berpengalaman selama 6 tahun. Di dalam gerbong tengah, suasananya terasa lapang dan tenang, dikarenakan hanya sedikit orang yang menaiki kereta. Jika dihitung, hanya ada 5 orang termasuk K, yang sedang termenung di kursinya.

K memandangi air hujan yang merayap di jendela akibat gerak kecepatan kereta. Dia lebih memilih memandang gerak hujan dibandingkan pemandangan perkotaan yang sudah biasa dilihatnya. Suara mesin kereta yang teratur dan berisik mengusik telinganya, dan K berkonsentrasi untuk tidak terlalu memperhatikannya.“Bising dan membosankan sekali.” Keluhnya “ jika kamu menyuruhku untuk melakukan perjalanan jauh, setidaknya siapkanlah hiburan untukku.” Keluhnya kepada dirinya sendiri, lebih tepatnya, kepada kesadaran yang tidak diketahuinya, kesadaran yang mengendalikan dirinya saat kesadaran ‘K’ tidak aktif. Tidak ada jawaban. Tentu saja pikir K, seandainya dia bisa berkomunikasi dengan kesadaran yang satu lagi, dia tidak perlu mengalami hal seperti ini. Setidaknya dia bisa bernegosiasi dengannya, mungkin bisa saling kompromi? Jika ingin melakukan perjalanan, setidaknya siapkanlah sesuatu untuk perjalanan.

Perlahan, K merasa mengantuk, dan rasa bosannya memiliki pengaruh besar akan rasa kantuknya. “huaam..mungkin sebaiknya aku tidur dulu.” Katanya kepada dirinya sendiri. Tunggu sebentar! Bagaimana kalau saat kau tidur dia kembali mengambil alih tubuhmu!? Tanya K kepada dirinya sendiri. Sedikit terpikir untuk menahan kantuk hingga sampai tujuan, tapi rasa kantuk menyerangnya tanpa ampun. Yang terjadi, terjadilah, jawab K kepada pertanyaannya, dan perlahan, kesadarannya pun meredup.

Striferser

Saturday 10 July 2010

Kembali Bermimpi

Kabut masih menggantung saat Merlin turun dari kereta. Masih pagi buta, stasiun besar nan berumur itu masih lengang. Sudut mata Merlin menangkap sosok seseorang pemuda yang terduduk di bangku stasiun, rambutnya yang panjang menutupi wajah berkacamata tersebut. Merlin sendiri heran, mengapa ia menghabiskan sekian menit untuk memperhatikan sosok yang bahkan tidak dikenalnya itu. Pemuda itu bisa saja hanya seorang yang ketinggalan kereta malam dan harus menungu hingga pagi. Atau seorang backpacker yang menghindari biaya hotel yang akan mengurangi jatah makannya.
"Tapi kenapa ia tidak membawa backpack? Tidak ada tas apapun di sekitarnya? Ah, sudahlah". Merlin pun mengakhiri analisisnya. Ia tidak akan menyia-nyiakan sejuk udara pagi dan ingin bergegas meneruskan lelap di kamar kosnya yang hangat.

Sayang rencananya untuk menyambung tidur tidak berjalan semulus itu. Saat matanya terpejam, Merlin malah diganggu sebuah mimpi tentang pemuda yang dilihatnya tadi pagi. Dalam mimpinya, mereka bicara panjang tentang sebuah perjalanan. Pemuda tersebut menunjukan sebuah tiket ke sebuah tujuan yang belum pernah didengarnya. Tiket itu merupakan hasil dari sebuah dorongan impulsif, ia pergi ke sebuah biro perjalanan, menunjuk sebuah kota dan membeli tiket ke kota tersebut. Merlin hanya mengangguk kagum, sudah lama ia ingin melakukan hal semacam itu. Ia menelan pemikirannya dan membiarkan pembicaraan mereka kembali mengalir sampai kereta pemuda itu datang pukul 13.20. Pemuda itu tersenyum santun dan melangkah naik ke kereta. Merlin belum melepas padangannya saat ia melihat pemuda itu ambruk karena ditikam sebuah benda tajam. Mimpi itu tidak mengijinkan Merlin untuk melihat jelas apa yang terjadi, ia terbangun saat suara gemuruh petir menyambar dari langit yang kini berwarna keabuan.

Pukul 12.40, ia bahkan tidak ingin memikirkan mimpi yang baru saja dialaminya namun kehangatan kota ini telah melemahkan apatisnya. Tubuhnya menolak untuk kembali bergelung dengan selimut dan kakinya melangkah ke arah luar, menuju stasiun. Ia sadar, perjalanannya tidak akan mulus, mendung sudah begitu pekat, hujan pasti akan turun dalam hitungan menit. Akan tetapi, kakinya seperti terpasak saat menunggu bus di pinggir jalan, ia sama sekali tak bisa menuruti keinginannya untuk kembali berlindung di kamarnya yang kering. Ia nyaris harus berseteru dengan angin yang bertiup kencang hanya untuk sampai ke stasiun yang ia tinggalkan tadi pagi. Dengan nafas terengah-engah, ia masuk ke sebuah kereta dan mencari sosok yang dimimpikannya. Ia sedikit lega karena belum menemukan ceceran darah maupun tanda-tanda terjadinya penikaman apapun.

"Sial!" hardik Merlin saat mulai kereta berjalan. Melompat dari pintu gerbong merupakan kegilaan yang lebih terlihat bodoh. Lagipula dengan hujan yang kini menguyur tanpa ampun, ia sadar pilihannya hanya berada dalam kereta itu dan menemukan pemuda yang ia cari. Paling tidak, sekedar untuk memastikan tak ada tragedi yang terjadi hari ini.

(Chaos)

Monday 5 July 2010

Sleep walking

K 2nd

K terbangun dari mimpi buruknya, hanya untuk menyadari bahwa dia sudah tidak berada di kamarnya lagi. K melihat bahwa dia sudah berganti pakaian, dan dia berada di stasiun kereta yang ramai dan padat. Dia melihat jamnya, yang dikenakan di tangan kanannya, dan jarum menunjukkan pukul 13.15. K menghela nafas, yang dia alami bukan yang pertama kali baginya. Sebelumnya sudah pernah terjadi, berkali-kali. Begitu dia tidur atau kehilangan kesadaran, saat dia sadar, dia akan berada di tempat lain. Tentu saja, K sudah datang ke psikiater untuk mencari penyelesaian “tidur berjalan”nya ini, tapi hasilnya nihil. Sejak itu, K tidak pernah lagi datang ke psikiater, karena merasa bahwa masalahnya ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan orang lain.

K , yang berdiri di platform tempat menunggu kereta api, mengarahkan pandangannya ke papan petunjuk nama stasiun yang tergantung di atasnya dan ternyata dia berada tidak jauh dari rumahnya. “haruskah aku kembali ke rumah? Atau mungkin… “Pikir K dengan tenang. K tidak merasa panik atau bingung, kejadian yang entah sudah berapa kali ini telah membuatnya menjadi terbiasa, dan itu membuatnya mampu berpikir jernih. K merogoh saku celananya “mungkin aku membeli tiket kereta?” pikirnya. Bingo, K menemukan tiket di sakunya, dan dia membaca tujuan yang tertulis di tiket

Kereta mulai berjalan, meninggalkan stasiun dengan perlahan, sebelum meningkatkan kecepatannya. K duduk di salah satu kursi kompartemen kereta tersebut, dengan telapak tangan kirinya menutupi mukanya.’ Apakah yang kulakukan ini benar? Apakah ada sesuatu di tempat tujuan?” Pikir K, sementara kereta mulai meningkatkan kecepatannya, dan melaju dengan kencang melalui rel, melewati hujan yang tiba-tiba turun dengan deras.

Monday 21 June 2010

Di Atas Kereta Menuju Dunia

Gerbong itu lebih pantas disebut kulkas beroda. Sayangnya selimut yang diberikan sebagai bentuk service tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Gigi Merlin masih bergemeletuk dan kuku-kuku jarinya masih berwarna ungu. Merlin sama sekali tidak bisa menikmati perjalanan ini seperti orang-orang yang tertidur lelap di sekitarnya. Akan tetapi, tunggu, bukankah iya penyihir? Mengapa ia tidak mengeluarkan gumpalan api kecil untuk memperbaiki keadaannya? Atau mungkin menyerap aura panas yang tersisa dari semua makhluk di gerbong ini? Atau mematikan hawa dingin yang keluar secara biadab dari AC di langit-langit gerbong dengan jentikan jari? Merlin hanya bisa mendesah kecewa, namanya tidak pernah membantu banyak saat diperlukan. Kondisi tidak berdaya seperti ini membuat banyak kenangan lama tentang masa remajanya bangkit seperti debu-debu dari karpet tua yang dikebas. Beterbangan dan menyesakkan.

Walaupun awalnya cukup nyaman, entah mengapa, semua mendadak terasa sulit di bangku sekolah menegah akhir. Di sana sekolah khusus putri itu, semua begitu rumit, ia harus memilih kelompok atau dibuang. Sialnya bahkan kelompok buangan tak mau menerimanya hingga ia harus berada pada rantai terbawah pada strata pergaulan di sekolahnya. Ia tak dapat berbuat banyak, aura gelapnya tidak membawa apapun selain lebih banyak pandangan sinis, cacian langsung bahkan serangan fisik. Namun, ia juga tidak memilih untuk berjalan menunduk. Wajahnya memandang lurus dengan tatapan tajam. Ia tidak dibuang dunia, ia membuang dunia, pikirnya saat itu.

Saat seorang pramugari dengan sopan meminta selimut difungsional tadi dari tangan Merlin, ia juga menarik Merlin kembali dari khayalnya. Melegakan, Merlin membatin. Ia tidak suka terlalu lama mengenang masa lalunya, kerena di kota barunya, tempat ia menyandang status mahasiswa, langit sedikit lebih hangat dan senyumnya mengembang lebih banyak disana. Kali ini, ia ingin kembali menyimpan dunia.

(chaos)

Saturday 19 June 2010

K

K
Dia menutup dirinya sendiri dalam dunia nada dan simfoni. Mendengarkan lagu klasik merupakan cara menghabiskan waktu yang paling disukainya. Dia menutup matanya, memusatkan segala perhatian kepada lagu 9th symphony gubahan sang komposer ternama, Ludwig Van Bethoven. Dia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah lagu ini sudah sesuai dengan bayangan Bethoven? seperti apakah suara 9th symphony yang ada di kepala Bethoven, yang saat membawakan lagu ini beliau sudah tuli? Pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab. Dia tidak memikirkannya lebih lanjut, dan menyerahkan dirinya kedalam buaian penuh ekstasi dari lagu 9th symphony yang sekarang memasuki 4th movement, bagian paling disukainya.

Setelah menikmati sensasi bagaikan orgasme dari mendengarkan 9th symphony, dia melepas headphone yang terpasang di telinganya, dan berjalan dengan pelan ke kamar mandi. Didalam kamar mandi dia melihat dirinya sendiri di cermin, sesosok pria yang terlihat berusia sekitar 20 tahunan (walau umur aslinya tidak seperti yang kelihatannya), dengan rambut hitam yang panjangnya sebahu, alis tipis, dan mata yang sipit. Tubuhnya kurus dan tinggi, dan teman-temannya mengidentikkannya dengan tiang listrik ( secara pribadi, dia tidak menyukai dirinya disamakan dengan tiang listrik) Dia melihat dirinya sendiri yang terpantul di cermin, dan bertanya kepadanya “K (nama samaran), hari ini adalah hari yang normal dan damai, dan kamu harus mensyukurinya” Dirinya yang dicermin menganggukkan kepalanya, dan dia merasa puas dengan jawaban tersebut. Dia mengambil sikat gigi berwarna biru, dan setelah mengoleskan odol mulai menggosok giginya dengan ritme teratur.

Setelah menyelesaikan rutinitasnya yang biasa dia lakukan di malam hari sebelum tidur, K mematikan lampu kamar, lalu merebahkan tubuhnya yang letih di ranjang. Pandangannya terarah pada langit-langit yang gelap, dan dia berkata kepada dirinya sendiri “semoga hari-hari yang damai terus berlanjut”. Setelah mengatakan hal tersebut,kata-kata juga berfungsi sebagai doa tanpa alamat tujuan (K sulit memahami konsep ‘Tuhan’), dia menutup matanya, dan membiarkan dirinya terbawa ke dalam alam mimpi, mengharapkan ketenangan. Sayang, yang menyambutnya adalah mimpi buruk yang mengingatkannya kepada kejadian di masa lalu, kejadian yang diwarnai dengan warna merah darah.

Strife

Wednesday 16 June 2010

Merlin

Ia selalu mengutuk nama yang diberikan padanya semenjak kecil, Merlin. Terdengar seperti penyihir, pikirnya. Walau tidak banyak orang di sekitarnya yang mengetahui legenda tentang si penyihir hebat yang terdapat pada cerita Raja Arthur dari Inggris tersebut, tetapi ia tetap merasa risih.

"Kamu terlalu banyak membaca dongeng aneh itu, Nak. Nama kamu itu bagus," ibunya menjawab rengekan Merlin untuk kesekian kalinya dengan jawaban yang sama. Sayangnya beliau tidak bisa memberi jawaban memuaskan dan hal itu membuat Merlin terus membuatnya mengutuki namanya tersebut. Rengekannya berhenti pada hari ia genap berusia 15 tahun. Saat itu ia teryakinkan, bahwa ia memang penyihir.

Demi apapun, ia bersumpah, ada udara aneh yang menyelimuti dirinya. Belum lagi dedaunan yang bergemirisik dengan tidak normal saat ia berjalan. Ia merasa diperhatikan, dibicarakan dan ditemani oleh entah apa. Ditambah mimpi-mimpinya yang sering kali terasa terlalu nyata. Tidak perlu menumpang sapu terbang atau memelihara kucing hitam, ia sudah cukup mengerti ia memeliki sesuatu yang berbeda. Sayang fakta itu tidak membuatnya senang, hal-hal tersebut malah mengekangnya dalam sebuah ruang maya yang kemudian dengan sukses menjauhkannya dari dunia nyata dan menempelkan predikat menyebalkan itu: ANEH.

(chaos)