Monday 21 June 2010

Di Atas Kereta Menuju Dunia

Gerbong itu lebih pantas disebut kulkas beroda. Sayangnya selimut yang diberikan sebagai bentuk service tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Gigi Merlin masih bergemeletuk dan kuku-kuku jarinya masih berwarna ungu. Merlin sama sekali tidak bisa menikmati perjalanan ini seperti orang-orang yang tertidur lelap di sekitarnya. Akan tetapi, tunggu, bukankah iya penyihir? Mengapa ia tidak mengeluarkan gumpalan api kecil untuk memperbaiki keadaannya? Atau mungkin menyerap aura panas yang tersisa dari semua makhluk di gerbong ini? Atau mematikan hawa dingin yang keluar secara biadab dari AC di langit-langit gerbong dengan jentikan jari? Merlin hanya bisa mendesah kecewa, namanya tidak pernah membantu banyak saat diperlukan. Kondisi tidak berdaya seperti ini membuat banyak kenangan lama tentang masa remajanya bangkit seperti debu-debu dari karpet tua yang dikebas. Beterbangan dan menyesakkan.

Walaupun awalnya cukup nyaman, entah mengapa, semua mendadak terasa sulit di bangku sekolah menegah akhir. Di sana sekolah khusus putri itu, semua begitu rumit, ia harus memilih kelompok atau dibuang. Sialnya bahkan kelompok buangan tak mau menerimanya hingga ia harus berada pada rantai terbawah pada strata pergaulan di sekolahnya. Ia tak dapat berbuat banyak, aura gelapnya tidak membawa apapun selain lebih banyak pandangan sinis, cacian langsung bahkan serangan fisik. Namun, ia juga tidak memilih untuk berjalan menunduk. Wajahnya memandang lurus dengan tatapan tajam. Ia tidak dibuang dunia, ia membuang dunia, pikirnya saat itu.

Saat seorang pramugari dengan sopan meminta selimut difungsional tadi dari tangan Merlin, ia juga menarik Merlin kembali dari khayalnya. Melegakan, Merlin membatin. Ia tidak suka terlalu lama mengenang masa lalunya, kerena di kota barunya, tempat ia menyandang status mahasiswa, langit sedikit lebih hangat dan senyumnya mengembang lebih banyak disana. Kali ini, ia ingin kembali menyimpan dunia.

(chaos)

Saturday 19 June 2010

K

K
Dia menutup dirinya sendiri dalam dunia nada dan simfoni. Mendengarkan lagu klasik merupakan cara menghabiskan waktu yang paling disukainya. Dia menutup matanya, memusatkan segala perhatian kepada lagu 9th symphony gubahan sang komposer ternama, Ludwig Van Bethoven. Dia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah lagu ini sudah sesuai dengan bayangan Bethoven? seperti apakah suara 9th symphony yang ada di kepala Bethoven, yang saat membawakan lagu ini beliau sudah tuli? Pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab. Dia tidak memikirkannya lebih lanjut, dan menyerahkan dirinya kedalam buaian penuh ekstasi dari lagu 9th symphony yang sekarang memasuki 4th movement, bagian paling disukainya.

Setelah menikmati sensasi bagaikan orgasme dari mendengarkan 9th symphony, dia melepas headphone yang terpasang di telinganya, dan berjalan dengan pelan ke kamar mandi. Didalam kamar mandi dia melihat dirinya sendiri di cermin, sesosok pria yang terlihat berusia sekitar 20 tahunan (walau umur aslinya tidak seperti yang kelihatannya), dengan rambut hitam yang panjangnya sebahu, alis tipis, dan mata yang sipit. Tubuhnya kurus dan tinggi, dan teman-temannya mengidentikkannya dengan tiang listrik ( secara pribadi, dia tidak menyukai dirinya disamakan dengan tiang listrik) Dia melihat dirinya sendiri yang terpantul di cermin, dan bertanya kepadanya “K (nama samaran), hari ini adalah hari yang normal dan damai, dan kamu harus mensyukurinya” Dirinya yang dicermin menganggukkan kepalanya, dan dia merasa puas dengan jawaban tersebut. Dia mengambil sikat gigi berwarna biru, dan setelah mengoleskan odol mulai menggosok giginya dengan ritme teratur.

Setelah menyelesaikan rutinitasnya yang biasa dia lakukan di malam hari sebelum tidur, K mematikan lampu kamar, lalu merebahkan tubuhnya yang letih di ranjang. Pandangannya terarah pada langit-langit yang gelap, dan dia berkata kepada dirinya sendiri “semoga hari-hari yang damai terus berlanjut”. Setelah mengatakan hal tersebut,kata-kata juga berfungsi sebagai doa tanpa alamat tujuan (K sulit memahami konsep ‘Tuhan’), dia menutup matanya, dan membiarkan dirinya terbawa ke dalam alam mimpi, mengharapkan ketenangan. Sayang, yang menyambutnya adalah mimpi buruk yang mengingatkannya kepada kejadian di masa lalu, kejadian yang diwarnai dengan warna merah darah.

Strife

Wednesday 16 June 2010

Merlin

Ia selalu mengutuk nama yang diberikan padanya semenjak kecil, Merlin. Terdengar seperti penyihir, pikirnya. Walau tidak banyak orang di sekitarnya yang mengetahui legenda tentang si penyihir hebat yang terdapat pada cerita Raja Arthur dari Inggris tersebut, tetapi ia tetap merasa risih.

"Kamu terlalu banyak membaca dongeng aneh itu, Nak. Nama kamu itu bagus," ibunya menjawab rengekan Merlin untuk kesekian kalinya dengan jawaban yang sama. Sayangnya beliau tidak bisa memberi jawaban memuaskan dan hal itu membuat Merlin terus membuatnya mengutuki namanya tersebut. Rengekannya berhenti pada hari ia genap berusia 15 tahun. Saat itu ia teryakinkan, bahwa ia memang penyihir.

Demi apapun, ia bersumpah, ada udara aneh yang menyelimuti dirinya. Belum lagi dedaunan yang bergemirisik dengan tidak normal saat ia berjalan. Ia merasa diperhatikan, dibicarakan dan ditemani oleh entah apa. Ditambah mimpi-mimpinya yang sering kali terasa terlalu nyata. Tidak perlu menumpang sapu terbang atau memelihara kucing hitam, ia sudah cukup mengerti ia memeliki sesuatu yang berbeda. Sayang fakta itu tidak membuatnya senang, hal-hal tersebut malah mengekangnya dalam sebuah ruang maya yang kemudian dengan sukses menjauhkannya dari dunia nyata dan menempelkan predikat menyebalkan itu: ANEH.

(chaos)